Dari Sawah ke Startup: Aksi Kolektif Perempuan Mengatasi Krisis Pangan

Bisnis FEM Action Female Terkini

Amanda Cole, CEO Sayurbox. Sumber : Youtube/wellspaces group

BOGOR, FEM– Subuh merekah di sentra sayur sekitar Bogor. Para petani memanen romaine yang masih basah oleh embun, sementara di Jakarta, ibu-ibu muda men-tap ponsel menunggu bel belanjaan.

Di antara dua dunia itu, ada jembatan bernama Sayurbox—perusahaan rintisan yang dibangun Amanda Susanti untuk merapikan jalur “farm-to-table” Indonesia: memotong perantara, menjaga mutu, dan membayar lebih adil. Bukan sekadar e-grocery,

Sayurbox bekerja seperti urat nadi dingin yang menjaga sayuran tetap segar sampai meja makan, mengurangi kehilangan pascapanen yang kerap terjadi di rantai pasok panjang.

Ribuan kilometer garis pantai lalu membuka bab berikutnya. Di kampung-kampung nelayan, Utari Octavianty bersama tim Aruna merapikan ekosistem perikanan.

Lewat Aruna, ia menghubungkan nelayan kecil langsung ke pembeli besar, memperkenalkan praktik berkelanjutan, dan menjaga keterlacakan hasil laut.

Di tengah cuaca yang kian ekstrem, platform ini membantu menstabilkan pasokan sekaligus pendapatan, menunjukkan bahwa ketahanan pangan juga ditopang oleh ketahanan pesisir.

Di ranah konsumsi, satu musuh besar bernama pemborosan pangan. Dua pendiri perempuan, Tessa Clarke dan Saasha Celestial-One, menyalakan perang gerilya lewat aplikasi berbagi makanan OLIO—tetangga berbagi surplus roti, restoran melepas stok sebelum kedaluwarsa.

Satu dekade berjalan, OLIO menyebut 120 juta porsi “diselamatkan”, komunitasnya menembus 8,5 juta pengguna di 60+ negara. Angka itu bukan sekadar statistik; ia mengubah cara kota-kota memandang sisa—dari sampah menjadi sumber.

Helga Angelina. Foto : smebusinessreview.com

Lalu ada Helga Angelina bersama Green Rebel dan jaringan restoran Burgreens—yang mendorong protein nabati lokal sebagai strategi mengurangi jejak lingkungan sekaligus memperluas pilihan gizi terjangkau.

Dikutip dari smebusinessreview.com, semua itu diawali dari dapur R&D ke freezer rumahan, poros ini menekan emisi dari daging hewani dan membuka pasar baru bagi petani bahan baku. Perubahan pola makan adalah jalur cepat yang sering diremehkan, dan para pendiri perempuan ini membuktikan ia bisa dipaketkan jadi produk yang enak, praktis, dan akrab.

Mengapa Peran Perempuan Penting?

Data FAO 2024 menegaskan: perempuan menyumbang sekitar 37% tenaga kerja agrifood global (dan hampir 48% di negara berpendapatan rendah), namun akses terhadap lahan, modal, teknologi, dan keputusan masih timpang.

Ketika perubahan iklim menghantam, rumah tangga yang dipimpin perempuan mengalami kerugian pendapatan lebih tinggi saat gelombang panas maupun banjir—mencapai puluhan miliar dolar per tahun di negara miskin. Artinya, ketahanan pangan tidak mungkin tercapai tanpa kesetaraan gender dalam seluruh rantai pangan.

Startup-startup yang dipimpin perempuan di atas menutup jurang itu dengan cara yang sangat konkret:

  • Memendekkan rantai: panen ke piring lebih cepat → lebih sedikit susut & harga lebih stabil. (Sayurbox)

  • Menaikkan posisi produsen kecil: akses pasar & standar keberlanjutan → pasokan lebih andal. (Aruna)

  • Membalik logika sampah: surplus jadi sumber melalui komunitas → beban TPA & emisi turun. (OLIO)

  • Mendorong pergeseran diet: protein nabati lokal → emisi lebih rendah & pilihan gizi meluas. (Green Rebel/Burgreens)

Tiga Strategi Kunci “Aksi Kolektif”

  1. Hilir–Hulu Terintegrasi
    Rantai dingin, pergudangan mikro, hingga prediksi permintaan membuat panen tak lagi berjudi. Ketika platform memberi visibilitas ke hulu, petani & nelayan bisa merencanakan tanam/tangkap—bukan sekadar mengikuti perantara. (Contoh: pelacakan pasokan Aruna; perencanaan panen di Sayurbox).

  2. Komunitas sebagai Infrastruktur
    OLIO menunjukkan infrastruktur sosial (tetangga, relawan, UKM) bisa setangguh infrastruktur beton dalam menyerap guncangan: ketika suplai terganggu, komunitas menutup celah dengan redistribusi cepat.

  3. Inovasi Produk yang “Membumikan” Sains
    Green Rebel memindahkan diskursus emisi peternakan ke piring harian—burger nabati dan keju nabati sebagai jembatan perilaku, bukan ceramah. Begitu rasa & harga bersaing, transisi pangan berjalan lebih mulus.

Tantangan yang Harus Dipecahkan Berikutnya

  • Pendanaan tahap pertumbuhan untuk agrifood yang siklusnya panjang dan margin tipis. Laporan global tentang wirausaha iklim menekankan perlunya skema pembiayaan yang sensitif gender agar inovasi perempuan tidak mandek di seed stage.

  • Infrastruktur iklim: cuaca ekstrem memperlebar risiko gagal panen/tangkap; butuh asuransi cuaca, peringatan dini, dan layanan kesehatan perempuan di rantai pasok.

  • Perubahan perilaku konsumen: edukasi soal porsi, penyimpanan, dan berbagi surplus harus berjalan paralel dengan teknologi. (Pelajaran OLIO).

Mengapa Ini Mendesak—dan Mungkin

Krisis pangan bukan hanya soal kurangnya produksi, melainkan ketimpangan akses, inefisiensi distribusi, dan limbah. Startup by women di Indonesia dan dunia menunjukkan resep yang bekerja: teknologi seperlunya, logistik yang presisi, komunitas yang dipercaya, dan produk yang membuat konsumen ingin berubah—bukan dipaksa.

Di kebun sayur yang sejuk, di dermaga yang riuh, di dapur R&D yang wangi rempah, hingga di notifikasi ponsel yang mengundang tetangga mengambil roti sisa, aksi kolektif ini menyambung satu benang merah: membuat pangan kembali cukup, adil, dan lestari—sambil memastikan perempuan berada di kursi pengemudi (Mutma).

Sumber :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *