Presiden Indonesia B.J. Habibie, kiri, dan ibu negara Hasri Ainun melambai ketika mereka tiba untuk pembukaan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Jumat 1 Oktober 1999 di Jakarta. (AP Photo/Dita Alangkara)
Di balik seorang pria besar, sering kali ada perempuan luar biasa yang berdiri teguh di sisinya. Pepatah itu menemukan kebenarannya dalam perjalanan hidup Bacharuddin Jusuf Habibie, Presiden ketiga Republik Indonesia.
Dua perempuan paling berpengaruh dalam hidupnya adalah ibundanya, RA. Tuti Marini Puspowardojo, dan istrinya, dr. Hj. Hasri Ainun Besari—sosok penuh kasih yang bukan hanya mendampingi Habibie hingga akhir hayatnya, tetapi juga meninggalkan jejak kemanusiaan mendalam bagi bangsa.
Mata yang Indah, Hati yang Luhur
Hasri Ainun lahir di Semarang, 11 Agustus 1937, dari pasangan R. Mohamad Besari dan Sadarmi. Nama “Ainun” berarti mata yang indah—sebuah makna yang kelak seakan menjadi pertanda jalan hidupnya.
Ia menempuh pendidikan kedokteran di Universitas Indonesia dan lulus tahun 1961, sebelum bekerja di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Ainun bukan hanya seorang dokter. Ia adalah pelita bagi banyak pasien, terutama mereka yang kehilangan penglihatan. Perjuangannya mendirikan bank mata di Indonesia menjadi tonggak penting dalam dunia kesehatan. Pada masa itu, donor mata masih menuai perdebatan agama.
Namun, berkat keberaniannya memperjuangkan regulasi yang tepat, Majelis Ulama Indonesia akhirnya memberi fatwa halal. Sejak itu, ribuan orang kembali dapat melihat dunia berkat gerakan donor kornea.
Cinta yang Bersemi di Bandung
Cinta Habibie dan Ainun bermula sederhana, saat keduanya masih sekolah di Bandung. Teman-teman sering menjodoh-jodohkan mereka—canda yang kelak menjadi kenyataan. Seusai menuntaskan studi di Jerman, Habibie melamar Ainun menjelang Lebaran 1962.
Pernikahan mereka berlangsung 12 Mei 1962 di Bandung, dengan akad nikah berbalut adat Jawa dan resepsi penuh warna budaya Gorontalo. Dari pernikahan itu lahirlah dua putra: Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie, yang kemudian menghadiahkan enam cucu bagi pasangan ini.
Cinta mereka bukan sekadar romantisme, melainkan kisah kesetiaan tanpa batas. Ketika Habibie harus kembali ke Jerman untuk studi doktoralnya, Ainun rela meninggalkan karier kedokterannya.
Ia bertransformasi menjadi ibu rumah tangga di negeri asing, hidup sederhana, jauh dari gemerlap, demi mendampingi suami.
Dari Ibu Negara hingga Pejuang Kemanusiaan
Saat badai krisis moneter melanda Indonesia dan Habibie didapuk menjadi Presiden (1998–1999), Ainun ikut memikul beban berat itu. Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah berkata, “Beliau mendampingi Presiden menjalankan tugas kenegaraan yang berat. Dengan kesetiaan, mendukung Bapak BJ Habibie melewati hari-hari yang tak mudah dalam periode sejarah menentukan.”
Sebagai Ibu Negara, Ainun tetap rendah hati. Ia mengabdikan dirinya pada isu sosial, terutama kesehatan masyarakat. Kepeduliannya tidak berhenti pada bank mata.
Pemerintah Gorontalo bahkan mengabadikan namanya melalui Rumah Sakit dr. Hasri Ainun Habibie, yang kini berkembang menjadi rumah sakit rujukan di Teluk Tomini serta calon rumah sakit pendidikan Universitas B.J. Habibie.
Kepergian yang Menggetarkan Bangsa
Pada Maret 2010, Ainun divonis menderita kanker ovarium. Ia berjuang melalui sembilan kali operasi di München, Jerman, namun pada 22 Mei 2010 pukul 17.35, ia menghembuskan napas terakhir di usia 72 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Kepergian Ainun meninggalkan duka mendalam, terutama bagi Habibie. Sang presiden yang selalu menyebut istrinya sebagai separuh jiwa itu kemudian menuliskan kisah cinta mereka dalam buku Habibie & Ainun, yang menjadi bestseller nasional. Kisah itu kemudian diabadikan ke layar lebar, diperankan oleh Bunga Citra Lestari dan Maudy Ayunda.
Sembilan tahun setelah kepergiannya, cinta itu kembali menyatu. Habibie wafat pada 11 September 2019, dan sesuai wasiatnya, dimakamkan tepat di samping Ainun. Di Kalibata, keduanya kini beristirahat berdampingan, seperti janji yang mereka genggam seumur hidup: setia hingga akhir.
Warisan yang Tak Pernah Padam
Lebih dari sekadar Ibu Negara, Hasri Ainun Habibie adalah simbol kasih, kesetiaan, dan pengabdian. Dari ruang operasi hingga istana, dari kehangatan rumah tangga hingga gelanggang politik bangsa, ia tetap menjadi sumber kekuatan.
Seperti matanya yang indah, jejak hidup Ainun adalah jendela yang memperlihatkan pada kita bahwa cinta dan kemanusiaan bisa berjalan seiring. Di balik pesawat-pesawat yang dirancang Habibie untuk terbang tinggi, ada Ainun yang selalu menjaga agar hatinya tetap membumi (Mutma).

