JAKARTA, FEMALE.CO.ID- Koalisi Gerakan Perempuan Disabilitas mendukung percepatan pembahasan
sekaligus pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Mereka juga
menyampaikan sejumlah usulan untuk menyempurnakan RUU Pengapusan
Kekerasan Seksual, termasuk mengusulkan ada asas non-diskriminasi.
Perempuan disabilitas menjadi sasaran empuk para pelaku kekerasan
seksual. Menurut catatan akhir tahun Komnas Perempuan pada 2018,
kekerasan seksual menjadi bentuk kekerasan yang paling menonjol menimpa
perempuan disabilitas. Pada ranah rumah tangga dan publik, terjadi 64
kekerasan seksual, 20 persen kekerasan psikis, sembilan persen kekerasan
ekonomi, dan tujuh persen kekerasan fisik.
Menanggapi fenomena itulah, Koalisi Gerakan Perempuan Disabilitas
menemui Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka menuntut Rancangan
Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan.
Namun sayangnya, hanya tiga anggota Komisi VIII yang menerima koalisi
tersebut, yakni Rahayu Saraswati Djojohadikusumo dari Fraksi Partai
Gerakan Indonesia Raya serta dua dari Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan: Dyah Pitaloka dan Agung Putri Astrid.
Koalisi Gerakan Perempuan Disabilitas meliputi Himpunan Wanita
Disabilitas Indonesia (HWDI), Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia (PJSI),
Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni), Gerakan untuk Kesejahteraan
Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin), Persatuan Penyandang Disabilitas
Indonesia (PPDI), Ikatan Sindroma Down Indonesia (ISDI), Sarana
Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB), serta Sentra Advokasi Perempuan
Difabel dan Anak (SAPDA).
Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani
Rotinsulu mengatakan Koalisi Gerakan Perempuan Disabilitas mendukung
percepatan pembahasan sekaligus pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual.
Maulani menyampaikan pula beberapa usulan untuk menyempurnakan RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual, termasuk adanya asas non-diskriminasi
karena hal tersebut berkaitan dengan bagaimana perempuan disabilitas
yang menjadi korban kekerasan seksual diperlakukan di hadapan hukum.
Sebab selama ini banyak kesaksian kaum disabilitas tidak dianggap.
Pada kesempatan itu, Ketua Umum Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia
(PJSI) Yeni Rosadamayanti membacakan pernyataan sikap dari Koalisi
Gerakan Perempuan Disabilitas. Koalisi tersebut mendukung RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual yang disusun oleh Komnas Perempuan bersama
berbagai organisasi perempuan, termasuk organisasi-organisasi
penyandang disabilitas.
Perlindungan Anak yang menghilangkan banyak pasal penting dari RUU P-KS
ini yang disusun oleh Komnas Perempuan dan organisasi-organisasi
perempuan. Keempat, mendukung penuh DPR RI untuk mempercepat proses
pembahasan dan segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan
kekerasan Seksual ini,” kata Yeni.
Pemerintah memang telah merevisi beberapa pasal dalam Rancangan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS), antara lain
terkait soal pencegahan, hukum acara, pemidanaan, restitusi, pemulihan,
dan pemantauan.
Pada pertemuan dengan tiga anggota Komisi VIII itu, juga hadir
sejumlah perempuan disabilitas menjadi korban kekerasan seksual dan
pendamping korban yang juga perempuan penyandang disabilitas.
Ipung, pendamping korban, bercerita terjadi tindakan diskriminatif
dalam hukum terhadap perempuan disabilitas yang menjadi korban kekerasan
seksual. Dia mencontohkan Pasal 433 dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUH Perdata), yang menyebutkan setiap orang dewasa yang selalu
berada dalam keadaan dungu, gila, atau mata gelap berada di bawah
pengampuan. Sehingga lanjutnya, perempuan disabilitas tidak bisa
mengambil keputusan untuk diri sendiri.
“Kemudian terkait dengan keabsahan menjadi seorang saksi, harus
melihat, mendengar, dan mengalami sendiri. Sedangkan kawan-kawan difabel
akan mengalami persoalan ini. Kami kebanyakan dianggap tidak memiliki
kapasitas hukum yang sama dengan manusia lainnya,” ujar Ipung.
Ipung menambahkan pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan
disabilitas kebanyakan orang-orang terdekat, seperti ayah kandung, ayah
tiri, tetangga, penjaga asrama, satpam, tukang ojek antar jemput, dan
majikan. Selain itu, posisi perempuan disabilitas juga rentan karena
sebagian besar bekerja di sektor rumah tangga.
Karena itu, Ipung sangat berharap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
memfasilitasi kebutuhan perempuan disabilitas yang menjadi korban
kekerasan seksual dalam proses hukum. Dia juga meminta Pasal 104 dalam
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dihapus dan RUU tersebut segera
disahkan.
Pasal 104 tersebut menyatakan pemasangan kontrasepsi atas izin
keluarga untuk penyandang disabilitas mental itu bukan pidana. Padahal,
menurut Ipung, dalam pasal lain disebutkan pemasangan kontrasepsi tanpa
izin orang yang dipasangkan adalah tindakan pidana.
Anggota Komisi VIII dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya Rahayu
Saraswati Djojohadikusumo mengakui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini
memang sangat dibutuhkan. Apalagi, banyak terjadi kekerasan seksual
terhadap perempuan, termasuk kaum hawa penyandang disabilitas. Ia
menyampaikan tekadnya untuk berupaya menambah pasal-pasal menjadi lebih
detail agar perempuan disabilitas mampu menghadapi proses hukum dalam
pembelaannya.
“Perlu lebih spesifik untuk teman-teman disabilitas karena mungkin
berbagai kendala yang tidak dimungkinkan secara fisik atau pun psikis
dalam berhadapan dengan prosedur hukum,” kata Saraswati.
Saraswati juga mengatakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual itu rencananya akan disyahkan Mei mendatang. [fw/em/voa]


