Ibu-Ibu Cililin Jadi Digital Queen, Dari Gaptek Jadi Pelaku Ekonomi Digital!

Bisnis FEM Smart News Terkini

JAKARTA, FEM – Di tengah sorotan pada masa depan media dan teknologi, Local Media Summit (LMS) 2025 turut menjadi panggung inovasi sosial. Salah satu yang mencuri perhatian adalah program Digital Queen, yang diperkenalkan oleh Firda Iskandar dari DigitalMama.id, sebagai upaya menjembatani kesenjangan digital di kalangan ibu-ibu daerah.

“Kami ingin perempuan tidak hanya jadi pengguna, tapi juga pencipta konten dan pelaku ekonomi digital,” ujar Firda dalam sesi LMS di Jakarta, Selasa (7/10/2025).

Program ini dimulai di Cililin, Jawa Barat, dengan melibatkan 40 ibu-ibu sebagai peserta dan 30 relawan Queen Maker dari tujuh perusahaan mitra. Rangkaian kegiatan Digital Queen tak berhenti pada pelatihan teknis—kelak akan ada promosi produk, mentorship, dan workshop lanjutan.

Mengapa Digital Queen penting?

Fenomena kesenjangan digital (digital divide) di Indonesia masih nyata, terutama bagi perempuan di daerah pedesaan dan zona terpencil. Banyak faktor memengaruhinya: akses terbatas ke infrastruktur, rendahnya literasi digital, norma sosial yang membatasi partisipasi perempuan dalam teknologi, serta ketidakpastian dukungan keuangan dan pelatihan.

Menurut laporan riset, literasi media digital bagi perempuan membawa banyak manfaat: dari kemampuan mengevaluasi informasi, merancang konten sendiri, hingga mengakses peluang baru di ranah ekonomi digital.

Digital Queen dalam konteks gerakan media perempuan

Inisiatif Digital Queen bukanlah program tunggal. Dalam narasi kerjasama media perempuan di Indonesia, Digital Queen adalah salah satu pilar bersama dengan Women’s Media Start-up Programme dan Women News Network (WNN).

Program ini telah aktif sejak Desember 2024 menurut laporan MediaSupport, dan pilot-nya di Cililin — terutama di komunitas Pondok Pesantren Arafah — mendapatkan sambutan positif dari masyarakat setempat.

Tantangan & langkah ke depan

Meski penuh potensi, perjalanan Digital Queen akan menghadapi sejumlah tantangan:

  • Skala dan replikasi: bagaimana memperluas ke daerah-daerah lain dengan sumber daya terbatas?

  • Konsistensi mentori dan pendampingan jangka panjang agar peserta tetap termotivasi dan tidak berhenti di tahap pelatihan.

  • Model pendanaan & monetisasi agar program bisa mandiri dan berkelanjutan.

  • Integrasi konten lokal & relevansi budaya, agar apa yang diajarkan sesuai konteks masyarakat setempat.

Namun, jika berhasil, Digital Queen bisa menjadi model pemberdayaan perempuan digital yang dikombinasikan dengan media lokal, memberdayakan ibu-ibu sebagai agen perubahan di lingkungan masing-masing (Wan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *