Film Lyora: Penantian Buah Hati. Foto : Muthmainnah/FEM
JAKARTA, FEM– Dalam sunyi malam, doa-doa itu terbang. Menembus langit, melintasi tujuh tahun penantian yang penuh air mata dan harapan. Dari ruang rumah sakit yang dingin hingga kamar penuh keheningan, dari kegagalan demi kegagalan hingga pelukan yang menghapus luka di sanalah lahir sebuah kisah tentang cinta yang tak pernah menyerah.
Itulah napas yang dihidupkan film Lyora: Penantian Buah Hati. Bukan sekadar karya sinema, melainkan perjalanan emosional yang membuka ruang empati bagi pasangan yang berjuang dalam diam. Film ini hadir sebagai cermin, merekam rasa sakit, harapan, dan keajaiban kecil yang akhirnya datang, bernama Lyora.
Cinta yang Menopang dalam Diam
Di balik setiap senyum yang dipaksakan, ada pelukan yang meredakan. Film ini menekankan betapa pentingnya kehadiran seorang suami, bukan hanya sebagai kepala rumah tangga, tetapi sebagai penopang emosional di saat-saat paling rapuh seorang istri.
Kehadiran yang tulus, genggaman tangan di ruang tunggu rumah sakit, atau sekadar diam bersama—semua itu menjelma menjadi kekuatan yang tak terlihat, namun nyata.
Meutya Viada Hafid, tokoh utama dalam kisah ini, yang sehari-hari bekerja sebagai Anggota DPR RI dan saat ini dipercaya menjadi Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Republik Indonesia. Sebelumnya bekerja sebagai jurnalis di salah satu TV Swasta di Indonesia.
Dalam film Lyora, Meutya digambarkan sangat beruntung. Di tengah kegelisahan untuk menjadi seorang ibu, ia masih memiliki sosok ibu yang bijaksana.
Figur ibu Meutya tampil penuh kasih, realistis, tanpa memberi tekanan berlebihan. Ia tidak memaksa, melainkan menyemangati dengan perspektif yang menenangkan. Dukungan ini menjadi jembatan penting yang menolong Meutya melewati hari-hari penuh ketidakpastian.
Di luar keluarga, hadir pula teman-teman sejati yang menjadi pilar lain. Mereka mendengar tanpa menghakimi, memahami tanpa banyak bertanya, dan mendampingi dengan kehadiran yang sederhana namun bermakna.
Film ini dengan jernih menyoroti bahwa dalam perjalanan panjang menuju orang tua, jaringan dukungan sosial sama berharganya dengan terapi medis.
Luka yang Tak Terlihat, Beban yang Dirasakan
Namun Lyora tidak berhenti pada kisah personal. Film ini juga menyelami luka sosial dan budaya yang kerap tak terlihat. Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti, “Kapan punya anak?” mungkin terdengar sepele, tetapi bagi pasangan yang berjuang, kalimat itu bisa menjadi beban berat.
Lebih jauh, film ini menyingkap stigma infertilitas yang hampir selalu diarahkan pada perempuan. Padahal, sains membuktikan bahwa faktor laki-laki seringkali sama berperannya.
Dengan narasi yang halus namun tegas, Lyora mengingatkan penonton untuk lebih peka, untuk berhenti menghakimi, dan untuk memahami bahwa setiap perjuangan memiliki cerita yang berbeda.
Selalu Ada Harapan
Akhirnya, setelah tujuh tahun penantian, doa itu menemukan jalannya pulang. Seorang bayi kecil bernama Lyora lahir, bukan hanya sebagai buah hati, tetapi sebagai simbol dari cinta yang tidak menyerah.
Film ini menutup kisahnya dengan pesan yang sederhana namun mendalam: bahwa kesabaran, jika dijaga dengan cinta, selalu punya cara untuk menghadirkan keajaiban.
Lebih dari Sekadar Film
Lyora: Penantian Buah Hati adalah sebuah undangan. Undangan untuk membuka mata dan hati, untuk lebih memahami perjuangan menjadi orang tua, dan untuk berhenti mengukur nilai hidup dari seberapa cepat seseorang memiliki keturunan.
Ini adalah film yang tidak hanya ditonton, tetapi dirasakan—karena di dalamnya, setiap orang bisa menemukan cermin dari luka, harapan, dan cinta yang pernah mereka jalani.
Lyora adalah kisah tentang hidup, tentang manusia, tentang cinta sejati yang tak mengenal kata menyerah (Muthmainnah)

