Mengembalikan Dunia Bermain, Saat Orangtua Menemukan Lagi Tawa Anak-anaknya

FEM Well News Parenting Terkini

Oleh: Syahdina Samsura*

Di sebuah sore yang lengang, seorang bocah kecil tampak duduk di sudut rumah, matanya terpaku pada layar ponsel. Jari-jarinya lincah menekan tombol-tombol virtual, sementara dunia di sekelilingnya sunyi. Tak ada tawa, tak ada teriakan riang, tak ada suara “petak umpet” atau langkah kaki berdebu di tanah. Inilah potret banyak anak hari ini—lebih dekat dengan gadget ketimbang dengan ayah atau ibunya.

Padahal, dunia anak sejatinya adalah dunia bermain. Lewat bermain, anak belajar merasakan, mengenal tubuhnya, memahami lingkungan, hingga mengasah daya imajinasi. Bermain adalah bahasa universal anak-anak, sebuah cara untuk tumbuh sekaligus menjalin ikatan batin dengan orangtua.

Hilangnya Waktu Bermain Bersama

Kini, peran orangtua kerap tergantikan oleh gawai. Anak-anak diperkenalkan dengan ponsel sejak dini, bahkan sebelum mereka mampu mengucapkan kalimat sempurna. Dari layar kecil itu, anak bisa mengunduh game berbau kekerasan: perkelahian, perang, darah yang seolah tak berujung. Alih-alih mendidik, permainan itu justru menanamkan sikap agresif, membuat anak lebih senang sendiri, terasing dari saudara maupun orangtuanya.

Di sisi lain, banyak orangtua beralasan tak punya waktu. Rutinitas kantor dan kesibukan sehari-hari membuat bermain dianggap mewah. Ada pula yang berpikir bahwa bermain harus melibatkan mainan mahal dari toko. Padahal, dunia bermain anak tidak pernah sesederhana daftar harga. Sebuah kertas bisa menjelma pesawat terbang, batu bisa menjadi kelereng, rumput bisa menjadi bahan masakan di dapur imajiner. Bahkan punggung ayah bisa berubah jadi kuda yang gagah, membawa tawa anak melayang.

Permainan yang Melampaui Generasi

Sesungguhnya, kita tak perlu bingung memilih permainan. Masa kecil kita sendiri menyimpan banyak inspirasi: lempar bola, lompat tali, kelereng, hingga permainan sederhana yang merangsang motorik. Saat anak berlari di tanah, melompat di atas batu, atau menyentuh air dengan bebas, mereka tak sekadar bermain. Mereka sedang melatih koordinasi tubuh, membangun keberanian, dan merasakan dunia dengan seluruh inderanya.

Para ahli perkembangan anak menyebut ada tahapan fitrah bermain.

  • Manipulative play: bayi memegang, menggigit, atau melempar benda di sekitarnya.

  • Functional play: anak usia dua tahun mulai memainkan sesuatu sesuai fungsi, misalnya menendang bola.

  • Symbolic play: anak yang lebih besar mulai menggunakan benda sebagai simbol, menjadikan kertas pesawat sederhana sebagai UFO atau kardus sebagai istana.

Setiap tahap punya keindahan tersendiri, dan yang paling penting: tidak ada aturan baku. Bermain adalah kebebasan, selama anak dan orangtua menikmatinya bersama.

Lebih dari Sekadar Tawa

Bermain bersama anak adalah jembatan emosional. Dari situ, orangtua bisa masuk ke dunia anak, memahami masalah yang mungkin tak mereka ucapkan. Bermain membuka ruang kepercayaan: saat anak tertawa lepas bersama ayah dan ibunya, di situlah benih kedekatan tumbuh.

Tidak ada kata terlambat untuk memulai. Bahkan dengan permainan paling sederhana sekalipun, orangtua bisa menghadirkan kembali suara tawa yang dulu pernah memenuhi masa kecil mereka.

Karena pada akhirnya, bermain bukan hanya tentang anak. Bermain adalah tentang hubungan manusia yang paling murni—antara orangtua dan anak, yang kelak akan menjadi kenangan paling berharga, jauh melampaui layar ponsel atau gadget canggih apa pun.

*Penulis adalah pakar kecantikan dan pemerhati anak.
Sumber : Jayakartanews.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *