Ilustrasi perempuan yang sedang retreat yoga sebagai ritual perempuan menyembuhkan diri. Dok : FEM
BOGOR, FEM– Matahari baru menyingkap kabut pagi di lereng Gunung Salak ketika Rina—seorang ibu dua anak dari Bogor—mengangkat cangkir jamu hangat di teras bambu rumahnya. Udaranya berat dengan wangi tanah dan serai; di kejauhan terdengar suara burung.
“Kadang yang kutunggu bukan liburan jauh, melainkan pagi yang tenang seperti ini,” katanya.
Bukan sekadar nostalgia: hari-hari singkat yang memberi ruang untuk napas, pengamatan, dan koneksi ternyata menjadi salah satu obat yang paling nyata bagi banyak perempuan yang melelahkan diri antara pekerjaan, keluarga, dan ekspektasi sosial.
Dalam beberapa tahun terakhir, narasi tentang “penyembuhan” telah bergeser. Bukan hanya soal bepergian ke destinasi eksotik—melainkan merangkai praktik yang mengembalikan tubuh dan jiwa ke ritme yang manusiawi: alam yang menenangkan, ritual tradisi yang mengakar, jaringan komunitas, gerakan tubuh, dan batas yang diajarkan dengan tegas pada diri sendiri.
Penelitian ilmiah kini mendukung apa yang banyak perempuan rasakan: kontak dengan alam, praktik komunitas, serta ritual yang bermakna memiliki efek nyata pada kesehatan mental dan fisik.
Alam sebagai Klinik Terbuka
Sejak Jepang mempopulerkan istilah shinrin-yoku atau forest bathing, sejumlah studi menunjukkan efek turunannya: penurunan hormon stres, peningkatan aktivitas saraf parasimpatis, mood yang membaik, hingga peningkatan daya tahan tubuh.
Terapi alam tidak harus berupa ekspedisi panjang—bisa sederhana: berjalan tanpa tujuan di taman kota, menyentuh kulit pohon, memperlambat langkah, atau bernafas penuh menghadap sungai kecil.
Panduan terbaru menekankan praktik terarah (guided forest bathing) yang membantu peserta melepas kontrol dan benar-benar hadir, langkah yang sering sulit bagi mereka yang hidup dengan beban multitasking.
Di kota-kota besar Indonesia, ruang hijau mikro—taman atap, kebun komunitas, dan taman sepanjang jalan—berfungsi layaknya klinik kecil yang bisa diakses tanpa meninggalkan rutinitas.
Studi tentang nature-based social prescription menunjukkan bahwa “resep” untuk lebih banyak waktu di ruang hijau terkait dengan perbaikan kesehatan mental di lintas negara; artinya, dokter dan pekerja sosial bisa menganjurkan aktivitas alam sebagai bagian dari rencana pemulihan.
Tradisi Lokal: Jamu, Doa, dan Sentuhan Generasi
Di pasar tradisional Solo dan Yogyakarta, perempuan masih menyimpan resep jamu yang diwariskan turun-temurun—ramuan kunyit, temulawak, jahe, dan rempah lain yang arahkan bukan hanya untuk tubuh, tetapi juga ritme harian.
Jamu berfungsi sebagai ritual: menyeduh, menunggu, meminum—kegiatan yang memberi jeda ritualistik dari kecepatan hidup modern.
Pengakuan global terhadap jamu—dari usaha komersialisasi hingga nominasi untuk pelestarian—mencerminkan nilai ganda tradisi ini: kesehatan dan ekonomi komunitas perempuan.
Penting diingat: tradisi tidak selalu menggantikan terapi medis, tetapi sering kali menjadi jembatan budaya yang membantu perempuan merasa dipahami, terhormat, dan didukung.
Dikutip dari Researchgate.net, ketika budaya dipadukan dengan praktik berbasis bukti—misalnya memadukan jamu yang aman dengan konseling atau terapi fisik—hasilnya bisa lebih holistik dan diterima oleh komunitas.
Perjalanan yang Menyembuhkan: Bukan Sekadar Melarikan Diri
Travel therapy—perjalanan yang dirancang untuk pemulihan—memberi ruang untuk refleksi, jauh dari pemicu stres harian.
Penelitian menemukan bahwa perubahan lingkungan dapat menurunkan rasa malu, memberikan perspektif baru, dan memberi fokus penuh pada perawatan diri, terutama bagi mereka yang menghadapi tekanan keluarga atau pekerjaan.
Namun, “perjalanan penyembuhan” yang efektif bukan sekadar destinasi; ia butuh struktur: waktu untuk tenang, dukungan komunitas di tujuan, akses ke terapis bila perlu, dan rencana pemulihan sesudah pulang agar efeknya bertahan.
Di banyak kasus, perempuan menemukan manfaat terbesar bukan di trip spektakuler, melainkan di micro-retreat—akhir pekan di pondok dekat desa, retreat yoga yang singkat, atau retreat menulis bersama kelompok kecil.
Micro-retreat menekan biaya, menurunkan hambatan akses, dan mudah digabungkan dengan tanggung jawab lain. Ini menyodorkan ide bahwa “menyembuhkan diri” bisa direncanakan secara realistis, bukan mitos liburan sempurna.
Komunitas: Pengobatan yang Saling Menopang
Hilda, fasilitator perempuan di ruang komunitas di Bandung, melihat bagaimana kelompok dukungan ibu-ibu pascapersalinan berubah menjadi arena penyembuhan: berbagi tugas, cerita, bahkan menukar makanan sehat. Kesadaran bahwa seseorang tidak sendirian mengurangi beban stigma dan rasa gagal.
Riset tentang terapi naratif dan program dukungan komunitas untuk fase kehidupan seperti matrescence (peralihan menjadi ibu) menunjukkan bahwa model kelompok—ditambah sentuhan ekoterapi—mampu mengurangi gejala kecemasan dan depresi.
Komunitas juga berperan sebagai infrastruktur sosial: tukar keterampilan, bergiliran menjaga anak, sampai inisiatif berbasis tetangga yang mengurangi isolasi—semua bentuk perawatan kolektif yang secara nyata mengurangi tekanan mental perempuan.
Gerak, Seni, dan Ritual: Tubuh Berbicara
Gerak—dari menari tradisi sampai yoga, dari berkebun sampai berjalan cepat—mempunyai efek langsung pada suasana hati dan produksi hormon kebahagiaan.
Seni dan praktik kreatif (menulis, melukis, juga berkebun) membantu memproses trauma non-verbal dan memberi bahasa baru pada pengalaman sulit.
Banyak program pemulihan modern kini menggabungkan seni dan alam—misalnya sesi berkebun terapi yang dipandu untuk korban kekerasan atau sesi menulis naratif di taman kota—karena kombinasi itu membuka jalur penyembuhan yang tak selalu dilalui kata-kata.
Tantangan Baru: Eco-Anxiety dan Beban Emosional Perempuan
Tidak semua “rindu alam” bermuara pada ketenangan. Perempuan, terutama yang berada di komunitas rentan, kini menghadapi eco-anxiety—kecemasan terhadap perubahan iklim, panas ekstrem, dan kehilangan mata pencaharian.
Studi terkini menyorot bagaimana perubahan iklim mempengaruhi kesejahteraan psikologis perempuan, terutama saat mereka jugalah yang paling sering bertanggung jawab atas pengasuhan dan pengelolaan rumah tangga.
Menyembuhkan diri dalam konteks ini berarti juga menemukan cara kolektif untuk bertindak—bergabung dengan proyek lokal, advokasi kebijakan, atau membangun ketahanan pangan keluarga—karena tindakan kolektif memberi kembali rasa kontrol yang banyak hilang.
Panduan Praktis: Cara Memulai Ritual Penyembuhan Sendiri
Berikut langkah-langkah sederhana yang bisa dimulai besok—tanpa menunggu tiket pesawat:
-
Buat ruang pagi kecil — 10–15 menit: tarik napas panjang, pijit leher, atau minum minuman hangat dengan penuh perhatian.
-
Pilihan alam setiap minggu — jalan kaki di taman, berkebun pot, atau duduk 20 menit menghadap jendela hijau. Mulai dari yang terjangkau. (Bukti: manfaat forest bathing untuk stres).
-
Ritual tradisi yang aman — jika punya warisan jamu atau doa keluarga, gunakan sebagai momen ritual yang menenangkan; konsultasikan bila perlu ke tenaga medis jika mengonsumsi ramuan herba.
-
Bangun jaringan mini — satu teman check-in mingguan, atau gabung komunitas lokal yang mempraktikkan yoga, berkebun, atau kelompok cerita.
-
Micro-retreat 1 hari — rencanakan akhir pekan tanpa gadget, atau pergi ke desa terdekat dengan rencana sederhana: tidur cukup, jalan alam, makan makanan sederhana.
-
Ambil bantuan profesional bila perlu — jika gejala kecemasan atau depresi berat muncul, cari bantuan profesional. Travel/retreat membantu, tetapi bukan pengganti terapi klinis bila kondisi serius.
Catatan Hati-hati & Harapan
Sains membuka banyak bukti bahwa alam, komunitas, tradisi, dan gerak adalah alat penyembuhan ampuh. Namun, bukan semua intervensi cocok untuk semua orang; ada batasan, dan untuk kondisi klinis tertentu, pengawasan medis mutlak diperlukan.
Di sisi lain, semakin banyak bukti dan inisiatif yang menggabungkan kearifan lokal dengan praktik berbasis bukti—membuka jalan bagi model penyembuhan yang inklusif, ramah gender, dan terjangkau.
Pada akhirnya, kata Rina saat menutup cangkir jamunya dan menatap kebun, “Menyembuhkan diri bukan soal pergi jauh; soal membangun lagi cara hidup yang menghargai napas, waktu, dan orang-orang di sekitar kita.”
Di era yang menuntut serba cepat, mungkin penyembuhan sejati adalah pelajaran sederhana: memperlambat, terhubung, dan bersama-sama merawat—dengan alam sebagai guru dan komunitas sebagai sahabat perjalanan.
Sumber :
-
Scoping review Shinrin-Yoku (forest bathing) — PubMed Central. PMC
-
Ecotherapy dan model transformasi kesehatan — ScienceDirect. ScienceDirect
-
Nature-based social prescription: bukti perbaikan kesehatan mental. PMC
-
Artikel feature tentang jamu dan peran perempuan di Indonesia — Vogue. Vogue
-
Studi terbaru tentang eco-anxiety dan gender — Frontiers in Psychology (2025).

